"Harga kopi terlalu murah, petani meninggalkan kebunnya. Nanti, kopi Toraja mungkin tinggal nama."
Apa cerita yang bisa diungkap dari secangkir kopi?
Berkenalanlah dengan Sulaiman Miting, 66. Dia dan kopi buatannya bisa
bercerita banyak hal tentang perang kopi hingga nasib petani di kampungnya
Toraja.
"Harga kopi terlalu murah, petani meninggalkan kebunnya. Nanti, kopi
Toraja mungkin tinggal nama."
Begitulah Sulaiman Miting, 66, menjelaskan bagaimana kondisi tanah Toraja
beberapa tahun lalu. Nama kopinya melejit, namun petani tak mendapat apa-apa.
"Pembeli menentukan harga," katanya.
Selama hidupnya, Sulaiman sering diminta menemani pengusaha dari dalam dan
luar negeri untuk bertemu dengan para petani kopi.
Dari situlah dia tahu tahu jauhnya perbedaan harga beli di petani dan harga
jual di kafe-kafe.
Pada 2011, dia bertemu dengan seorang petani kopi yang berubah beralih
menanam sayur karena 'harga kopi terlalu murah'. Waktu itu, satu liter kopi
kulit tanduk hanya dihargai sama dengan satu liter beras (sekitar Rp9.000).
Dari situlah, Sulaiman terpanggil untuk melakukan sesuatu. "Saya ingin
mendekatkan petani dengan pembeli agar middle man jangan terlalu
banyak bermain.
"Dari petani masuk ke pengumpul di pasar (pasambu), masuk tengkulak,
eksportir, broker, baru sampai Starbucks di Seattle, dan
konsumen."
Seorang
penjual kopi Toraja di Rantepao, ibu kota Kabupaten Toraja Utara,
menunjukkan jualannya. Selain dikenal karena produk kopinya, daerah ini
juga merupakan pusat kebudayan etnik Toraja. (Purwo Subagiyo/National Geographic Indonesia)
Indonesia
adalah penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan
Vietnam. Pada 2013, produksi kopi bisa mencapai 692.000 ton, menurut
kementerian perindustrian.
Warung kopi Toraja
Dua
tahun lalu, Sulaiman mulai mendirikan Warung Kopi Toraja sebagai galeri
bagi para petani kopi menampilkan contoh-contoh kopi mereka.
Kafe ini mungkin satu-satunya yang berdiri di Rantepao, Toraja.
"Budaya
minum kopi di warung tidak lazim bagi orang Toraja. Mereka minum kopi
di upacara adat. Karena itu membuka warung kopi bagi orang Toraja pasti
rugi. Tapi saya buat warung itu untuk pembeli."
Di warung kopi ini, para calon pembeli bisa memilih contoh-contoh kopi dan Sulaiman langsung mempertemukan mereka dengan petani.
Kini,
Sulaiman bercerita, harga kopi mulai naik di beberapa desa. Kopi di
Desa Sapan misalnya sudah seharga Rp20.000 per liter dan di Desa Awan
sekitar Rp18.000 per liter.
Kecintaan Sulaiman pada kopi bukanlah
tiba-tiba. Kopi ada 'dalam darahnya', diturunkan kakek neneknya asal
Bugis yang berdagang kopi di tanah Toraja pada pertengahan tahun
1800-an.
Dia mengerti betul bagaimana memperlakukan kopi dan mempertahankan cara sangrai tradisional.
Salah satu teknik yang berkembang dari 100 tahun yang lalu adalah proses natural dengan diinjak-injak.
"Proses seperti ini akan menghasilkan honey coffee, karena lendirnya yang manisnya tidak keluar. Lendir kopi meresap masuk ke biji yang hijau, rasa itu yang memberi manis."
(Christine Franciska/bbc.co.uk/indonesia)
0 komentar :
Posting Komentar