Fenomena luar angkasa Gerhana Matahari Total (GMT) yang terjadi pada Rabu (9/3) ternyata membawa pengaruh pada perilaku satwa. Hal ini terlihat dari pengamatan yang dilakukan peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di penangkaran hewan Cibinong Science Center(CSC), Cibinong, Jawa Barat.
Dari hasil pengamatan, beberapa satwa menunjukkan perilaku abnormal seperti terkena tipuan malam. “Satwa-satwa yang kami amati di antaranya kelompok mamalia kecil, kelompok burung paruh bengkok, serta binatang melata atau herpetofauna,” ujar Hari Sutrisno, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Untuk kelompok mamalia, kukang dianggap memberikan respon paling positif. “Hewan nokturnal yang aktif di malam hari ini tadinya pada pukul 05.00 WIB sebelum ada cahaya matahari masih aktif, kemudian mulai tidur saat matahari terbit. Namun beberapa menit saat GMT, intensitas cahaya berkurang dan kukang bangun lagi dan melakukan aktivitas,” jelas Wartika Rosa Farida dari Laboratorium Nutrisi dan Penangkaran Satwa Liar Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Menurut Hari, penelitian ini didasari oleh penelitian sebelumnya yang pernah ada bahwa GMT mempengaruhi perilaku satwa. “Ini merupakan momen sangat langka, yang sebelumnya di Indonesia terjadi pada tahun 1983,” imbuh Hari. Dirinya menjelaskan, secara umum respon satwa-satwa memang menunjukkan perilaku seolah-olah sudah senja atau malam. “Kemungkinan besar bagi wilayah yang mengalami penurunan intensitas cahaya secara signifikan akan menunjukkan hasil yang lebih positif,” jelas Hari.
Begitu juga dengan babi. Pada saat matahari terbit, babi bergerak dan melakukan aktivitas seperti makan. “Namun pada saat GMT, aktivitas babi mulai menurun dan mereka mulai tidur seakan-akan sudah mulai malam,” imbuh Rosa.
Selain kukang dan babi, tim mamalia juga mengamati beberapa hewan lainnya seperti landak raya, landak jawa, landak sumatera, jelarang (bajing besar), bajing tiga warna dan oposum layang. “Namun satwa-satwa ini tidak terlalu terpengaruh dan tidak mengalami perubahan perilaku yang signifikan,” tutur Rosa. Sehingga, timnya berasumsi bahwa hewan nokturnal cenderung memberikan respon yang lebih besar terhadap perubahan intensitas cahaya sehingga berperilaku abnormal.
Sementara itu, tim peneliti kelompok burung mengamati beberapa jenis seperti nuri bayan, kakaktua govini, betet jawa, dan nuri kepala hitam. “Burung yang menunjukkan respon paling signifikan adalah betet jawa. Pada saat cahaya redup, mereka langsung tidur seperti aktivitas menjelang pagi atau menjelang senja,” jelas Rini Rahmatika, peneliti burung Pusat Penelitian Biologi LIPI. Kakaktua juga menunjukkan respon yang hampir sama. “Sejenak mereka berkoloni dan mengurangi aktivitas,” sambung Rini.
Berbeda dengan kelompok mamalia dan burung, kelompok hewan melata diduga tidak terpengaruh sama sekali oleh GMT. Beberapa hewan yang diamati yaitu kura-kura brazil, kura-kura ambon, kura-kura sulawesi, kura-kura papua, biawak, phyton timor, serta viper hijau. “Untuk kelompok reptil, mereka biasanya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Namun karena tidak ada perubahan respon yang signifikan selama GMT, kami asumsikan reptil tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan cahaya karena perubahan cahaya yang terjadi juga tidak terlalu tinggi,” jelas Evy Arida, peneliti herpetofauna Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Respon Satwa Lore Lindu
Selain di tiga penangkaran di Cibinong, LIPI juga menurunkan tim penelitian di Taman Nasional Lore Lindu dan Kawasan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah sebagai salah satu titik GMT. “Burung maleo betina yang sebelum GMT agak gelisah dan riuh, pada saat GMT mulai diam,” tutur Sigit Wiantoro, peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI yang turut serta di Lore Lindu saat dihubungi via telepon. Sementara itu untuk burung maleo jantan, saat GMT kembali tidur seperti pola aktivitas malam hari, imbuhnya.
Sebagai informasi, pengamatan perilaku satwa ini berlangsung pada pukul 05.00-09.00 WIB dengan perubahan suhu 1 derajat pada saat terjadi gerhana dari 25 derajat celsius ke 24 derajat celsius dan kelembaban udara yang naik sekitar 10 persen dari 80 persen menjadi 91 persen
(Sumber: Humas LIPI)
0 komentar :
Posting Komentar