THE ONLY WAY
To Do Great Work
Is To Love, What You Do.
Home » » Mereguk Tradisi Kuno Penyambung Kehidupan di Lamalera

Mereguk Tradisi Kuno Penyambung Kehidupan di Lamalera

Written By Unknown on 6 Mar 2016 | 18.12

Perjalanan di Pulau Palue sarat makna, mengalami pergulatan hidup warga yang bertahan di pulau gunung berapi.


Melintasi Selat Adonara dengan perahu motor siang itu, semangat jelajah saya melambung. Sejauh mata memandang, keindahan alam memanjakan indera penglihatan.

Saya dalam perjalanan menuju tempat kelahiran para pelaut ulung, Lamalera. Pelaut yang terkenal akan tradisi kuno, berburu mamalia laut raksasa, paus.

Setibanya saya di Lewoleba, saya segera mencari angkutan untuk mengantarkan saya ke daerah selatan Lembata. Akhirnya saya berhasil mendapatkan tempat di angkutan umum berupa truk yang disulap menjadi angkutan yang disebut bis oleh penduduk setempat.

Berisikan sekitar 40 orang, lengkap dengan hewan ternak seperti ayam dan babi, saya merasa perjalanan saya semakin menarik.

Kira-kira empat setengah jam kemudian, saya tiba di Lamalera. Hembusan angin yang terasa panas di sore itu, tidak menurunkan semangat saya untuk mengenal kehidupan unik para pelaut ulung ini.
Dengan kehangatan khas timur, Lois Beding menerima saya untuk tinggal di rumahnya selama kunjungan saya. Karena hari masih terang, iamengajak saya ke pantai untuk menikmati sore pertama saya di Lamalera. Bayangan akan pemandangan matahari terbenam di laut, mengenyahkan rasa penat yang saya rasakan setelah perjalanan panjang. Saya bergegas menyimpan barang bawaan saya dan mengikuti langkah....

Setibanya di pantai yang berjarak kira-kira 10 menit dari kediamanan Lois Beding, harapan saya untuk menikmati terbenamnya sang surya seketika lenyap. Saya dihadapkan oleh pemandangan yang sulit diungkapkan.Di pantai yang indah sore itu, tergolek enam ekor lumba-lumba hasil tangkapan para pelaut.

Rasa pilu menyergap saat melihat keenam ekor lumba-lumba yang menggemaskan itu tergolek tak berdaya, menyurutkan semangat jelajah.

Seketika saya rasanya ingin pulang. Seketika saya rasanya tak mampu meneruskan kunjungan saya di desa nelayan nan jelita ini. Walaupun saya tahu bahwa tradisi ini dilakukan murni untuk memenuhi kebutuhan, namun tetap berat rasanya melihat kenyataannya.

Namun sebuah bisikan dalam sanubari menahan saya, membuat saya membuka mata hati untuk melihat tak hanya dipermukaan, untuk tidak menghakimi dan untuk belajar lebih banyak tentang hidup dan keindahan warna yang tercipta dalam setiap detaknya.

Saya pun memutuskan untuk tinggal lebih lama dan mengenal lebih dekat kehidupan mereka.
Kebetulan saya datang pada masa berburu, yaitu antara bulan Mei hingga Oktober setiap tahunnya, saya pun diizinkan untuk ikut melaut, berburu mamalia laut raksasa esok hari.

Masih dalam tanda tanya besar atas alasan penghuni desa akan tradisi unik ini, saya bergabung dengan perahu para nelayan pagi itu. Acara melaut pagi itu mempertemukan saya dengan Pak Sanga.Seorang lamafa atau ahli berburu paus yang disegani di Lamalera.Lelaki berperawakan atletis, walaupun sudah berumur.Ia memimpin perburuan kami pagi ini. Diawali doa, kami memulai perburuan ini.

Perahu yang kami pakai adalah perahu nelayan biasa.Dengan perahu ini, para nelayan memutari perairan untuk melihat kemungkinan munculnya Paus. Bila kemudian terlihat, para nelayan akan segera kembali ke pantai dan berganti perahu khusus bernama paledang untuk menangkap mamalia laut raksasa tersebut. Lamafa bertugas menancapkan tempuling, semacam tombak yang dibuat khusus, tepat pada jantung paus.

Di tengah penantian kami, melintas seekor pari besar disekitar perahu kami.Para nelayan segera beraksi. Sang pari berhasil lolos. Kemudian tiba-tiba kegaduhan diatas perahu terhenti. Dalam bahas lokal, Pak Sanga mengucapkan beberapa kalimat dengan serius dan sesaat kemudian semua orang diatas perahu duduk dan menundukkan kepala. Saya belum dapat mencerna apa yang sedang terjadi.
Sesaat kemudian, para nelayan bersatu dalam doa yang khusyuk. Setelah doa selesai, salah seorang dari mereka menjelaskan kepada saya, bahwa mereka berdoa untuk pari dilaut. Beberapa waktu yang lalu, salah seorang dari mereka pernah mencoba untuk menangkap pari dengan cara menombak seperti biasa, namun pari tersebut berhasil lolos walaupun sudah terluka.

Bagi para nelayan hal tersebut dianggap dosa besar.Mereka dilarang membiarkan hewan laut terluka dan menderita.Bila berburu, maka hewan buruan tersebut tidak boleh menderita.

Hewan buruan harus langsung mati sesegera mungkin, dengan sependek mungkin waktu penderitaan. Oleh karena itu, tidak sembarang orang mampu melaksanakan tugas sebagai Lamafa, yang paham akan teknik berburu yang tidak membuat buruan menderita.

Menit demi menit berganti jam berlalu. Teriknya mentari tidak memudarkan semangat para nelayan berburu. Sudah lebih dari tujuh jam kami melaut tanpa ada tanda-tanda penampakkan sang mamalia laut raksasa. Pak Sanga kemudian memutuskan untuk menganti arah jelajah. Sekitar lima belas menit perjalanan, saya terkesiap. Sejauh mata memandang yang tertangkap mata saya adalah ratusan lumba-lumba yang sedang asyik bermain.

Lumba-lumba yang sebelumnya hanya pernah saya liat di tempat atraksi, kini nyata dihadapan saya, dalam jumlah yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dengan gerakan serba cepat, para nelayan menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk memburu mereka, sementara Pak Sanga mengarahkan motoris mendekati target buruannya. Suasana terasa mencekam. Bagi saya pribadi, pergelutan batin atas perburuan ini masih terasa.

Tanpa bergeming, Pak Sanga berdiri diujung perahu dengan tombaknya, diatas perahu yang melaju dengan kecepatan penuh mendekati kawanan lumba-lumba. Tiba-tiba perahu berhenti dan Pak Sanga meloncat masuk ke dalam air sembari menombak seekor lumba-lumba.

Dua detik kemudian terdengar teriakan gembira. Pak Sanga berhasil menangkap seekor lumba. Mau tak mau saya pun larut dalam kebahagiaan mereka. Setelah menaikkan lumba-lumba yang sudah tak bernyawa itu ke atas perahu kami pun bergerak menuju pantai.

Selengkapnya
SHARE

About Unknown

0 komentar :

Posting Komentar