THE ONLY WAY
To Do Great Work
Is To Love, What You Do.
Home » » DIENG PLATEAU

DIENG PLATEAU

Written By Unknown on 9 Jun 2011 | 09.05


ISTILAH Dieng berasal dari bahasa Jawa kuno yaitu di-hyang. Oleh Groenevelt, Dieng dianggap seperti Lang-pi-ya, yaitu salah satu gunung yang disebut-sebut dalam suatu berita China, bahwa Lang-pi-ya sering didatangi oleh Sang Raja. Ditilik dari kondisi alamnya, istilah Dieng dapat diotak-atik menjadi edi (indah) dan aeng (ajaib). Hal ini dikaitkan dengan keadaan alamnya yang menakjubkan. Karena itu para pendiri bangunan kuno Dieng yakin bahwa di dataran tinggi atau gunung Dieng yang indah dan ajaib itu pasti ditempati para dewa, sehingga dibuatlah banyak bangunan suci.
Sementara itu gunung atau dataran tinggi Dieng, merupakan salah satu puncak dari kompleks pegunungan di Provinsi Jawa Tengah bagian tengah di sebelah utara kabupaten Wonosobo dan kabupaten Banjarnegara. Adapun deretan gunung-gunung itu terdiri dari G. Sumbing (3.371 m), G. Sundoro (3.151 m), G. Prahu (2.565 m), G. Dieng (2093 m), G. Bismo (2.365 m), dan G. Rogojembangan (2.177 m).
Bentuk G. Dieng tidak seperti gunung-gunung lainnya, sebab puncaknya sudah runtuh yang diperkirakan akibat letusan dahsyat. Itulah sebabnya G. Dieng tinggal berbentuk tanah datar yang tinggi atau dataran tinggi yang biasanya disebut plato. Dahulu merupakan tempat ziarah raja-raja Mataram Hindu. Sedangkan tangga naik ke dataran tinggi Dieng masih dapat dilihat di desa Bawang, wilayah Pekalongan.
Dataran tinggi Dieng dikelilingi bukit-bukit, sehingga wilayah Dieng seolah-olah berbentuk sebuah mangkok. Di samping ada G. Prahu di sebelah utara, maka di bagian timur terletak bukit atau pegunungan Wucu dan bukit Kendil. Sedang di bagian selatan-barat adalah pegunungan Pakuwojo dan bukit Panggonan. Dari dataran tinggi Dieng itu pula Sungai Serayu berasal, sebab sungai itu bermata air di Tuk BimoLukar. Selain menyajikan alam yang indah, Dieng juga menyimpan peninggalan-peninggalan sejarah, gejala-gejala postvulkanisme, danau kawah (valkanik), dan sumber geotermal. Suhu rata-rata Di Dieng berkisar antara 13 sampai 17 derajad Celsius. Karena itu tidak mengherankan meskipun siang hari masih ada penduduk yang berselimut sarung. Jangka waktu 24 jam, Dieng didominasi oleh kabut tebal, sehingga jarak pandang hanya sekitar 10 meter. Waktu terang berkisar antara pukul 09.00 sampai pukul 13.00.
Seluruh kompleks dataran tinggi Dieng telah berkembang menjadi daerah pariwisata. Di situ dapat dilihat dari dekat gejala-gejala postvulkanisme yang berupa solvator (sumber gas belerang), mofet (sumber gas karbonmonogsida /CO dan karbondiogsida /CO2 yang melemaskan/gas lemas, dan fumarol (bualan gas dan uap gunung api disertai dengan suara). Gejala-gejala tersebut dapat dilihat di kawah Sikidang, kawah Sileri, kawah Sikendang dan kawah Condrodimuko. Selain itu juga dapat dilihat danau kawah (danau vulkanik), yaitu Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga Merdada, dan Balekambang. Dieng juga menyajikan geotermal (panas bumi). Sejak zaman Hindia Belanda, Dieng sudah dibor. Pada tahun 1928 ahli-ahli Belanda telah mencoba mengebor tempat tersebut sedalam 100 m dengan suhu 100 derajad Celsius Pada pertengahan tahun 1972 Dieng telah bor pada kedalaman 183 m, suhu yang tercatat lebih dari 100 derajad Celsius, ditaksir bertekanan 2 atmosifir, serta dapat mendatangkan tenaga listrik sekitar 10 MW.
Kelompok candi di dataran tinggi Dieng, semula ada 19 buah. Namun karena banyak yang rusak atau dirusak, kini tinggal 8 buah saja yang masih dapat dilihat. Sedangkan bangunan arkeologis lainnya yang ada di dataran tinggi Dieng di antaranya Ondho Budho, sebuah tangga batu mendaki bukit dengan 134 anak tangga. Konon, pada zaman dahulu tempat tersebut merupakan pertapaan. Sedangkan bangunan lain berupa Batu Kelir, sebuah bekas tembok bangunan untuk bercengkerama raja.
Mengingat di Dieng masih banyak terlihat postvulkanisme, maka tidak mengherankan bahwa bencana vulkanologi atau letusan gunung api masih sering terjadi di dataran tinggi itu. Oleh karena itu di sana juga ada petugas vulkanologi yang melakukan pengamatan dan pemantauan gunung api.
Sesungguhnya letusan gunung api dan kawah vulkanologi di dataran tinggi Dieng sudah terjadi sejak tahun 1776. Pemerintah Belanda pada saat itu sudah mencatat terjadinya letusan-letusan di Dieng, serta memasang rambu-rambu bahaya gas beracun. Daerah yang sangat rawan dan tidak boleh didekati, dipasang patok merah, yang kini lebih dikenal dengan sebutan jalur merah.
Sementara itu daerah yang tidak boleh dihuni, tetapi boleh untuk lahan pertanian , dipasang patok kuning, kini dikenal dengan sebutan jalur kuning. Jalur Kuning adalah daerah yang boleh digarap untuk pertanian, tapi hanya boleh dikunjungi sesudah pukul 09.00. Karena sebelum pukul 09.00 dan sesudah pukul 16.00 sangat rawan gas beracun. Gas itu tidak berwarna dan tidak berbau tetapi mematikan. Sedangkan bau yang menyengat di kawasan Dieng bukan bau gas beracun tetapi bau belerang dari asap kawah. Daerah yang bebas dihuni dan digarap sebagai lahan pertanian, dipasang patok hijau atau jalur hijau.
Menurut catatan yang ada di Pos Pengamatan Gunung Api Dieng, letusan pertama terjadi tahun 1776 di gunung Butak. Kemudian menyusul tahun 1825 di Gunung Pakuwojo, tahun 1826 juga Gunung Pakuwojo, tahun 1883 Kawah Sikidang, 1928 Gunung Butak kembali meletus, bahkan memakan korban 39 orang tewas.
Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1939, yaitu meletusnya Kawah Timbang, serta menewaskan 10 orang penduduk setempat. Tahun 1944 Kawah Sileri meletus menewaskan 117 penduduk. Tahun 1957 Gunung Pangamunamun meletus besar-besaran dan longsor, menewaskan 450 penduduk. Tahun 1979, Kawah Sinila meletus dengan mengeluarkan gas beracun secara besar-besaran sehingga menewaskan 149 penduduk. Kemudian tahun 1981 Kawah Sikidang meletus kembali, tetapi tanpa korban. Tahun 1984 dan 1986 Kawah Sileri meletus kembali dan menimbulkan gempa.
Dalam tahun 1990-an Gunung Dieng terus bergolak, bahkan pada tahun 1993 sempat memunculkan kawah baru di tepi danau Balekambang. Kawah itu sempat menyemburkan lumpur yang cukup tinggi dalam beberapa minggu, namun akhirnya mati. Pada tahun 2009 terjadi dua kali peningkatan vulkanik, baik di kawah Sibanteng maupun di kawah Sileri. Dengan demikian jelas bahwa postvulkanisme di Gunung Dieng terus bergolak karena memang masih labil. q-g-(2914A-2011).
SHARE

About Unknown

0 komentar :

Posting Komentar